Kedisiplinan Jepang

Bagi orang yang berkecimpung dengan dunia kejepangan, banyak hal yang selalu menjadi pertanyaan tentang keunikan masyrakat Jepang. Sewaktu saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Jepang, saya masih ingat beberapa ustadz di pesantren saya dulu menceritakan kisah-kisah yang mereka dengar tentang kedisiplinan orang Jepang. Pun ada di antaranya yang telah berinteraksi dengan beberapa professor di Jepang (pesantren Darul Fallah Bogor pernah diteliti oleh seorang pakar Jepang pada era 70-an, beliau sudah meninggal), menyampaikan betapa kerasnya mereka bekerja. Saya berangkat pada waktu itu dengan titipan pertanyaan : mencari kenapa bangsa Jepang bisa sedisiplin itu?

Kedisiplinan sudah mulai tampak ketika kami (rombongan mahasiswa dari berbagai negara yang memperoleh beasiswa pemerintah Jepang) disambut di bandara saat petugas dengan sopan meminta kami berbaris rapi mengantri menunggu giliran pemeriksaan keimigrasian. Dan keluar dari bandara, lalu dalam menjalani hidup selama kurang lebih 7 tahun, saya sehari-harinya berhadapan dengan pemandangan orang-orang Jepang yang mengantri di mana-mana, bekerja serius tanpa banyak mengobrol, datang tepat waktu, pulang tepat waktu, mematuhi jam kerja yang sudah ditetapkan, membungkuk hormat kepada konsumen, dan banyak lagi sikap yang unik, karena tidak saya jumpai di tanah air pada waktu itu. Persis sama seperti yang digambarkan oleh para ustadz saya di pesantren.

Saya semakin terbebani dengan titipan pertanyaan ustadz. Saya tanyakan kepada professor dan orang-orang Jepang, mengapa mereka seperti itu? Jawaban yang saya dengar macam-macam. Ada yang mengatakan sudah dari sononya begitu; sejak kecil kami sudah belajar tentang hal itu; bahkan ada yang balas bertanya, “Bukankah dengan disiplin dan bekerja keras lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya?” Pertanyaan balik ini seakan menjadi bentuk keheranan : kok pertanyaan seperti itu kamu tanyakan? Bukankah itu perbuatan baik? Perbuatan baik tidak perlu dipertanyakan mengapa ia harus dilakukan, karena semua sudah mengerti alasannya….untuk kebaikan pula.

Jawaban-jawaban itu kalau saya sampaikan kepada ustadz, tentulah belum memuaskan. Maka mulailah saya mempelajari bagaimana orang Jepang dididik. Sebab, ada benang merah yang tanpa sadar menyambungkan cerita-cerita yang saya dengar dari orang Jepang tentang kedisiplinannya, dan itu adalah pendidikan. Saya berkesempatan mendatangi Institusi penyelenggara pendidikan anak usia dini di Jepang (hoikuen dan youchien), SD, SMP, SMA dan beberapa SMK. Dari guru-guru dan kepala sekolah, saya biasanya dioleh-olehi satu amplop besar pamflet, brosur, dan handbook sekolah. Saya adalah mahasiswa asing biasa, dan merasa sangat asing dan jengah dengan penghormatan yang diberikan kepsek dan guru-guru kepada kami. Kepsek menunggu kami di pintu masuk bangunan sekolah, lalu dia dan stafnya membungkuk sepertiga badan mengucapkan salam, dan mempersilakan kami mengganti sepatu dengan slipper yang sudah dikeluarkan dari box-nya. Sikap seperti itu hampir seragam, di sekolah manapun yang pernah saya kunjungi di seantero Jepang. Saya semakin yakin bahwa sikap disiplin itu dibangun di sekolah. Tetapi saya belum dapat memformulasikan seperti apa pendidikan Jepang itu. Barulah setelah program doktor saya memasuki tahun ketiga, saya berani mengeluarkan konsep Pendidikan Tiga Dimensi (Tubuh-Jiwa-Otak) di Jepang, yang sudah beberapa kali saya ulas dalam blog ini.

Konsep di atas boleh jadi salah, sebab saya adalah manusia biasa. Namun, saya meyakininya sebagai sebuah konsep yang paling tepat menggambarkan pendidikan di Jepang apabila dilihat secara makro dan menyeluruh, dari jenjang PAUD hingga pendidikan tinggi. Bahwa pendidikan hendaknya dimulai dengan pembentukan tubuh yang sehat, dan selanjutnya diikuti dengan pengenalan karakter dan norma melalui pendekatan hati dan pembiasaan, dan diakhiri dengan pengembangan otak yang didasarkan pada rasa ingin tahu yang tinggi. Model pendidikan tsb tidak dilaksanakan secara terbalik, yaitu otak-hati-tubuh, atau hati-tubuh-otak. Saya kira masih perlu saya membuktikan dan menganalisa konsep ini ke depan, dan boleh jadi akan berubah.

Tetapi apakah konsep tersebut sudah mampu titipan pertanyaan ustadz?

Belum. Saya kira dengan pendekatan mempelajari konten pelajaran di sekolah tidak memadai untuk memahami mengapa orang Jepang memiliki etika disiplin dan etos kerja yang tinggi. Maka tergeraklah saya untuk menyusuri sejarah orang Jepang. Saya berasumsi bahwa kedisiplinan dan etos kerja Jepang bukanlah karakter gen yang diturunkan, tetapi perilaku yang muncul karena faktor lingkungan, alam, dan sebuah pengalaman/perubahan sejarah. Asumsi tersebut berkembang karena pada faktanya, generasi tualah yang tampak lebih disiplin dan merupakan pekerja keras. Adapun pada generasi mudanya, banyak saya temukan fakta-fakta ketidakdisiplinan dan “kelembekan” dalam bekerja. Saya memutuskan untuk menanyai orang-orang tua Jepang yang berusia antara 70-80 tahun. Selain itu, saya pun mulai menekuni buku-buku ajar yang dipakai di Jepang pada masa Meiji (sebelum perang). Pertanyaan di kepala semakin bertambah, apakah kedisiplinan dan etos kerja orang Jepang adalah materi ajar yang diberikan sejak istilah persekolahan dikenal dalam masyarakat Jepang? Jika ya, dari mana sumbernya?

Dari penelusuran sejarah, saya mulai memperoleh titik terang dan bisa meraba-raba jawaban pertanyaan dari mana kedisiplinan dan etos kerja itu bermuara. Banyak pakar yang menuliskan bahwa konsep disiplin dan etika bekerja adalah salah satu bentuk pengejewantahan prinsip bushido yang dipegang teguh oleh para samurai Jepang. Prinsip bushido yang berkembang dari ajaran Konfusianisme tersebutlah yang terus dipegang dan dilaksanakan oleh masyarakat Jepang hingga dewasa ini.

Pendapat di atas terbantahkan oleh sebuah kajian menarik yang dilakukan oleh Prof. Takehiko Hashimoto mengenai sejarah “Japanese Clock” dan Sikap Disiplin Waktu Orang Jepang yang dimuat dalam sebuah jurnal pada tahun 2008. Juga tulisan Tetsuro Kato dalam Look Japan pada tahun 1995 menggambarkan ulasan menarik tentang sikap moral orang Jepang pada masa lampau. Hashimoto memaparkan bahwa menurut analisa laporan yang disampaikan oleh beberapa orang Eropa yang datang ke Jepang pada masa awal atau menjelang masa Meiji, orang Jepang bukanlah pekerja yang mematuhi waktu dan serius bekerja. Mereka dilaporkan lebih santai, senang minum-minum, dan ketika sistem perkeretaan diperkenalkan, keterlambatan selama 30 menit adalah hal yang lumrah. Hari libur lebih banyak dibandingkan dengan para pekerja Jepang saat ini, yang umumnya hanya mengambil cuti seminggu dalam setahun. Pada masa Meiji, pekerja Jepang banyak yang libur dan mencutikan diri pada perayaan-perayaan yang erat kaitannya dengan budaya dan agama.Absen dari pekerjaan juga cukup tinggi (20%), sangat berbeda dengan kondisi orang Jepang saat ini yang sakit pun tetap berangkat bekerja (absen 0%). Mereka juga dengan mudah berhenti bekerja, dan tidak menunjukkan etos kerja di Jepang yang terkenal saat ini, yaitu bekerja semur hidup atau hingga pensiun di sebuah perusahaan/instansi.

Hashimoto mengaitkan kelahiran sikap disiplin dengan masuknya sistem mechanical clock di Jepang, sementara Kato berargumen bahwa kedisiplinan mulai lahir pasca perang dunia, yaitu ketika Jepang kalah dalam peperangan, dan merasa tidak ada jalan lain untuk bangkit kecuali berdisiplin dalam bekerja dan mengutamajan kerja keras. Maka wajarlah, dengan asumsi ini, banyak orang tua di Jepang bekerja siang malam, bahkan tidak pulang ke rumah, ketika mereka masih kuat bekerja. Generasi yang merasakan akibat langsung peperangan adalah generasi yang tertempa dan tidak mau lagi masuk dalam penderitaan yang sama. Untuk itu mereka memegang teguh prinsip bekerja keras dan penuh kedisiplinan.

Saya sudah menemukan jawaban, bahwa sikap disiplin dan bekerja keras orang Jepang bukanlah karakter yang dilahirkan/diwariskan secara genetik. Mereka dulunya sama dengan negara-negara tidak berkembang dan berkembang yang dapat kita saksikan dewasa ini, adalah bangsa yang tidak disiplin. Karena trigger kondisi peranglah yang mendorong mereka untuk bangkit.

Lalu, setelah bangkit dan menjadi leading inovation country in the world, apakah mereka menurun semanangat disiplin dan kerja kerasnya? Jawabannya tidak, karena konsep moral ini telah berhasil ditanamkan dan “dikawal” dengan ketat agar senantiasa terwariskan dengan baik, yaitu melalui jalur pendidikan sekolah.Memang tidak dikatakan bahwa Jepang memberikan pelajaran agama kepada para siswa sekolah, tetapi konsep disiplin dan etos kerja keras adalah nilai-nilai yang diakui bersama sebagai bagian dari konsep bushido yang harus disampaikan dari masa ke masa.

Selanjutnya, muncul pertanyaan baru, bagaimana konsep bushido (lahir pada era Tokugawa-sebelum Meiji) diaplikasikan pada era Meiji dan masa-masa sesudahnya? Saya mengasumsikan bahwa konsep bushido tetap dipegang kokoh oleh kalangan prajurit. Bagaimana dengan masyarakat awam atau non-samurai pada masa itu? Saya masih mencari jawabannya:-)

Tinggalkan komentar